Potret Pendidikan di Lereng Gunung Tambora (2-habis)

No comment 244 views

 

Mabrur merupakan satu-satunya guru honorer yang mengajar di kelas jauh SDN Sori Sumba, Desa Labuan Kananga, Kecamatan Tambora. Niat tulusnya mengabdi tidak pernah goyah meski honor yang diterima tergolong kecil.

SDN Sori Sumba di Desa Labuan Kananga, Kecamatan Tambora, memiliki kelas jauh. Tepatnya, di sebuah permukiman transmigrasi dengan ketinggian sekitar 1.200 dari permukaan laut.

Satu bangunan kecil menjadi satu-satunya akses belajar anak-anak di permukiman setempat. Namun, bangunan itu sudah tidak terpakai lagi pascatertimpa pohon beberapa waktu lalu.

Kini, anak-anak setempat harus belajar di bawah pohon. Terkadang belajar di sebuah rumah warga di kala hujan turun. Meski keterbatasan sarana prasarana, semangat belajar mereka tak pernah pudar.

Mabrur salah satu sosok penting dibalik semangatnya anak-anak di permukiman itu. Pria yang hanya menyandang status guru sukarela ini tak pernah lelah mengasuh murid yang ada di kampung terpencil itu. Padahal dia tinggal jauh dari permukiman tersebut. Jarak antara tempat mengajar dengan rumahnya lebih dari 5 kilometer.

Mabrur sudah 9 tahun menjadi guru sukarela di SD setempat. Niat tulusnya gak pernah surut meski digaji Rp 200 ribu per bulan. Bagi dia, pendidikan anak-anak jauh lebih penting dari sekadar imbalan. “Saya terima gaji satu kali per tiga bulan,” katanya.

Honor yang diterima sebagai tenaga pendidik memang dirasakan jauh dari standar kebutuhan hidup. Untuk menambah pendapatan ia terpaksa nyambi jadi petani jagung.

Dulu dia mengaku pernah mendapat tunjangan guru terpencil, sebesar Rp 1 juta per bulan. Tapi belakangan, sekitar tahun 2016, tunjangan itu tidak ada lagi. Ia juga sempat memprotes soal penghapusan tunjangan guru terpencil itu pada dinas terkait, namun tidak membuahkan hasil.

“Begitu pula dengan bantuan sarana prasarana sekolah sudah seringkali kita ajukan proposal. Tapi, tak pernah direspon,” sesalnya.

Mabrur tidak setiap hari mengajar di permukiman itu. Ia hanya mampu tiga kali dalam seminggu. Selain jaraknya jauh, medan yang dilalui juga cukup sulit. Sebab, jalannya rusak parah, menanjak dan berbatuan.

Bahkan untuk pergi mengajar ia harus star lebih pagi, supaya tiba di sekolah tepat waktu. Sepeda motor jadi satu-satunya transportasi yang bisa digunakan menuju permukiman itu.

Untuk menempuh lokasi itu lumayan jauh, sekitar 3 kilometer dari sekolah induk. Sehingga tak ada guru PNS yang ditempatkan di sekolah itu. “Selama ini hanya saya yang ditugaskan mengajar di permukiman transmigrasi. Sesekali ngajar di sekolah induk,” katanya.

Setiap kali ke sekolah ia sangat dikagumi warga permukiman. Perjuangannya dalam mendidik anak-anak disanjung banyak orang. Tapi, baru-baru ini peran Mabrur sedikit terbantu dengan hadirnya guru PNS yang baru ditempatkan di SDN Sori Sumba. Namanya, Dian Agi Purnama.

Dian sebenarnya ditugaskan mengajar di sekolah induk. Karena dia tahu ada kelas jauh, ia memilih sesekali mengajar ke permukiman. Sebagai guru baru, Dian ikut prihatin dengan kondisi belajar anak-anak di permukiman.

“Ini pengalaman pertama saya mengajar di sini. Dengan kondisi belajar seperti ini, sudah sepantasnya ada perhatian dari pemerintah,” kata Dian.

Dian juga ikut prihatin dengan status Mabrur, sebagai guru honorer. Upah yang minim, tidak sebanding dengan perjuangannya mengajar anak-anak di permukiman. “Sudah sepantasnya dia mendapat tunjangan daerah khusus dari pemerintah seperti guru-guru lain di desa tetangga di Tambora,” harapnya. (Juwair Saddam/r8)

 

 

lombokpost.jawapos.com/feature/25/02/2021/potret-pendidikan-di-lereng-gunung-tambora-2-habis/

author

Leave a reply "Potret Pendidikan di Lereng Gunung Tambora (2-habis)"